KERAJAAN KENDAN
Nama
Kendan berasal dari kata Kenan yang memiliki makna sejenis batu cadas,
berongga dan didalamnya mengandung kaca yang berwarna hitam. Batuan inipun akan
tampak kemilauan saat tersorot oleh sinar matahari. Memiliki permukaan yang
sangat kasar dan tajam. Dan konon, jenis batuan semacam ini hanya terdapat di
wilayah Kendan saja.
Adapun Raja-Raja Kerajaan Kendan ini adalah
;
Raja Maha Guru Manik Maya ( Th.536 M
- Th.568 M ), Resiguru Manikmaya, Raja Pertama
Kendan datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India
Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti:
Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau
Bali, Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan
Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561
M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah perbukitan
Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru Manikmaya, dinobatkan menjadi
seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman, menganugerahkan
perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja
daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat.
Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik.
Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang
Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap
agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman
mati dan kerajaannya akan dihapuskan. Dari perkawinannya dengan
Tirtakancana, Sang Resiguru Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan
beberapa orang putra dan putri. Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera
Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu
perang. Sehingga, ia diangkat menjadi Senapati Kendan, kemudian diangkat pula
menjadi Panglima Balatentara (Baladika) Tarumanagara, hal ini berdasarkan Naskah
Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara
Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon
Jawa Barat.
Raja Putra Suraliman ( Th.568 M -
Th.579 M), Penobatan Rajaputra Suraliman, berlangsung
pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka (tanggal 5 Oktober 568
M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang. Dalam perkawinannya
dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu keturunan Kudungga yang
bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai seorang putra dan seorang
putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang Kandiawan. Adiknya diberi
nama Sang Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa
Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.
Raja Kandiawan ( Th.597 M - Th. 612
M ), yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati
atau Medang Gana. Oleh karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri
Medang Jati. Kandiawan memindahkan
Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati
di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti
dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente
Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5
orang Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan
Wretikandayun, yang masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ;
Surawulan, Pelas Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya
ditunjuk Putra bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja
Kandiawan bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
Raja Wretikandayun ( Th.612 M - Th.
702 M ), memindahkan lagi Pusat Kerajaan
Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan, kecamatan Cijeungjing,
Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati
anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu
; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan
Jantaka/mandi minyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra,
Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan
Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Tarumanagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan
Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi
Kerajaan Galuh
Pendahulu
Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612 M).
Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi
pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra
bungsunya, Sang Wretikandayun, yang waktu itu sudah menjadi Rajaresi di daerah
Menir. Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Kendan pada
tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam itu, bulan sedang
purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur garis ekuator.
Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di Medang Jati, tidak
juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru, kemudian diberi nama
Galuh (permata). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua
batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang
sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri, seorang
putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati dinobatkan
sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini, Sang
Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun 620
M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai Raja Kendan di
Galuh, penguasa di Tarumanagara saat itu, adalah Sri Maharaja Kretawarman
(561-628 M). Sebagai Raja di Galuh, status Sang Wretikendayun adalah sebagai
raja bawahan Tarumanagara. Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja
daerah, di bawah kekuasaan Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M),
Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman (666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa, umur
Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang
Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di
Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini
merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika)
dari kekuasaan Sang Tarusbawa. Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan (Bogor)
sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru, menyampaikan
surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Galuh
memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan yang mahardika. Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai dan
adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas
Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun
670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua
kerajaan penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di
belahan timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482,
kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi),
menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Kisah lengkap Kerajaan Kendan bersumber pada naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta).
RINGKASAN KERAJAAN KENDAN
0448 – 0534 Caka = 86 tahun candra ;
556 –639 Masehi = 83 tahun surya
Kala
|
0448 – 0490 Caka (556 –597
Masehi)42 tahun
|
Kerajaan
|
Kendan 1, bawahan Tarumanagara
|
Nama
|
Resiguru Manikmaya
|
Gelar
|
Sang Maharsiguru Manikmaya, Sang
Resiguru
|
Asal-usul
|
Negeri asalnya, ialah Bharatawarsa
(India) sebagai tanah airnya, tempat ia dilahirkanIa berkelana yang ahirnya
sampai ke Jayasinghapura, ibukota Tarumanagara (6).
|
Istri 1
|
Déwi Tirthakancana, puteri Sri
Maharaja Suryawarman, raja Tarumanagara 7
|
Anak
|
Rajaputra Suraliman, panglima
besar angkatan bersenjata Tarumanagara.
|
Istri 2
|
Déwi Sanwara
|
Anak
|
Sri Naragati atau Sri Narawati
diperisteri oleh Sang Surawana atau Si Uwur-uwur
|
Catatan
|
Sang Surawana adalah siswa Sang
Resiguru Manikmaya. Kemudian diambil menjadi menantu Sang Resiguru.
Disebabkan Sri Naragati menanggung derita dan sangat cinta kepada sang teruna
SurawulanSri Naragati, Sri Narawati bersuami Surawana, Sang Sudhira, Si
Uwur-uwur (pekerjaan Sang Surawana, yaitu tiap hari mencari ikan (di) batas
hutan atau rawa. Setelah itu, dia menjadi nelayan di laut dan sungai
bersama-sama ayahnya dan saudaranya. Sang Surawana yang semula disebut Si
Uwur-uwur Sagara, karena ganti pekerjaan (menjadi) pencari burung, kemudian
disebut Manuk Si Uwur-uwur )
|
Keterangan
|
Adapun Resiguru Manikmaya asal
mulanya dari negeri Bharata. Sudah beberapa negeri dan wilayah didatangi
olehnya, serta tinggal di sana, kemudian berangkat lagi pindah ke negeri
lain. Negeri itu di antaranya Pulau Simhala, negeri Gauda, Hujungmendini,
Pulau Sumatra, Pulau Bali, Jawa Timur. Akhirnya tiba di Jawa Barat dan
tinggal di situ, di ibukota Kerajaan Taruma ialah Jayasinghapura.Sang
Resiguru Manikimaya ahli agama, pandai bicara, serta sifatnya sangat (baik),
beliau dijadikan kepala pendeta di ibukota Tarumanagara. Tidak lama antaranya,
resiguru Manikmaya oleh Sri Maharaja Suryawarman diberi hadiah daerah, yaitu
wilayah Kendan namanya, lengkap dengan pembantunya, wadwamawastra. Sang
Resiguru dijadikan raja Kendan, sebagai raja wilayah Kerajaan Tarumanagara.
Kepada menantunya Sri Maharaja juga memberikan berbagai perlengkapan raja
yang baik. Begitu juga sejumlah pakaian, mahkota raja dan permaisuri, serta
senjata pembesar, pegawai-pegawai raja, pejabat raja. Bahkan seluruh barang
dan bermacam-macam makanan, bermacam-macam kendaraan yaitu kereta gajah,
kuda, ternak sapi, kambing, anjing, juga burung, ayam, dan macam‑macam yang
lainnya lagi. Seluruh raja wilayah di Jawa Barat semuanya (diberi) tahu
dengan Surat oleh Sri Maharaja Tarumanagara bahwa Raja resiguru Kendan adalah
menantuku, lindungilah olehmu semua, janganlah ditolak menantuku olehmu; dan
lagi Resiguru Manikmaya merupakan Brahmana (yang) sempurna mantranya dan
beliau telah ternama dalam keagamaan. Siapa yang menolak, memukul kepada Raja
resiguru Kendan dibunuh, dan kerajaannya dihancurkan. sedangkan keturunan,
sanak saudara serta keluarga raja resiguru Kendan dijadikan pembesar
kerajaan, dan jabatan pejabat kerajaan, hulubalang, mantri, dan lainnya lagi
di Kerajaan Kendan; juga ada yang dijadikan duta di kerajaan sahabat, bahkan
ada juga yang dijadikan duta Kerajaan Tarumanagara di Kerajaan Cina dan salah
satu kerajaan di negeri Bharata.
|
Catatan
|
Raja resiguru Kendan Sang
Manikmaya menjadi raja wilayah Kendan lamanya 42 tahun, ialah dari tahun 448
sampai dengan tahun 490 Saka.Permulaan berdiri(nya) kerajaan wilayah Kendan
ditulis dalam prasasti. Begini: Tanggal empatbelas paro terang bulan Magha
tahun esthi wisikya truthi 453 Caka.[14s, 04, 0453 Caka = 19 Agustus 0561]
|
Resiguru Manikmaya di Kendan
adalah nenek moyang raja Galuh
|
Kala
|
0490 – 0519 Caka (597 – 625
Masehi) = 29 tahun12k-12-0490 Caka (18 Maret 0598 Masehi)
|
Kerajaan
|
Kendan 2, bawahan Tarumanagara
|
Nama
|
Suraliman, Sang Suraliman Sakti
|
Gelar
|
Karmadharaja Bhimaparakrama
|
Istri
|
Déwi Mutyasari, puteri Bakulapura,
keturunan wangsa Kudungga
|
Anak
|
1 Sang Kandihawan, raja di
Medangjati2 Dewi Kandyawati, dijadikan isteri oleh saudagar, orang Kotyewara
dari Sumatera dan ia tinggal di tanah air suaminya
|
Ketika beliau berusia 20 tahun
makin terlihat kegagahan badannya, dan pandai berperang. Oleh karena itu
beliau dijadikan senapati perang, kemudian menjadi panglima di Kerajaan
Tarumanagara.
|
|
Resi Mandra dari Jawa Timur, yang
berdiam di wilayah Kendan
|
|
Anak
|
1 Déwi Mayangsari atau Komalasari,
2 Prabhaya, ia menjadi Patih di Medangjati di bawah kekuasaan Ratu Sang
Kandihawan
|
Kala
|
0519 – 0534 Caka (625 –640 Masehi)
= 15 tahun
|
Kerajaan
|
Medangjati atau Medanggana.
|
Nama
|
Sang Kandihawan
|
Gelar
|
Sang Bhatara Wishnu, Rahiyang
Dewaraja, rajarsi di Medanjati
|
Istri
|
Déwi Mayangsari atau Komalasari
|
Anak
|
1 Sang Mangukuhan atau Rahiyang
Kuli-kuli, 2 Sang Karungkalah atau Rahiyang Surawulan, 3 Sang Katungmaralah
atau Rahiyang Pelesawi, 4 Sang Sandanggerba atau Rahiyang Rawunglangit
5 Sang Wretikandayun atau Sang
Suradharmma
|
Kala
|
80 tahun
|
Kerajaan
|
ratu wilayah
|
Nama
|
Sang Mangukuhan atau Rahiyang
Kuli-kuli, lahir 0501 Caka (0608 Masehi)
|
Istri
|
-
|
Anak
|
-
|
Wafat
|
meninggal pada usia 105 tahun,
pada tahun 606 Caka (=710 Masehi)Selanjutnya digantikan oleh
puteranya, sebagai raja wilayah.
|
Kala
|
6 tahun
|
Kerajaan
|
ratu wilayah
|
Nama
|
Sang Karungkalah, lahir 0504 Caka
(0611 Masehi)
|
Gelar
|
Rahiyang Surawulan
|
Istri
|
-
|
Anak
|
banyaknya 3 orang. Yang bungsu
masih bayi.
|
meninggal pada usia 30 tahun,
ialah pada tahun 538 Caka (=644 Masehi)Selanjutnya ia digantikan
oleh isterinya, karena putera‑puterinya masih kecil‑kecil
|
|
Kala
|
97 tahun
|
Kerajaan
|
ratu wilayah
|
Nama
|
Sang Katungmaralah, lahir 0507
Caka (0614 Masehi)
|
Gelar
|
Rahiyang Pelesawi
|
Istri
|
-
|
Anak
|
-
|
meninggal pada usia 122 tahun
Caka; dia digantikan oleh cucunya.
|
|
Kala
|
60 tahun
|
Kerajaan
|
ratu wilayah
|
Nama
|
Sang Sandanggerba, lahir 0510 Caka
(0616 Masehi)
|
Gelar
|
Rahiyang Rawunglangit
|
Istri
|
-
|
Anak
|
-
|
Wafat
|
meninggal pada usia 83 tahun; Ia
digantikan oleh menantunya, karena puteranya yang tertua wanita.
|
Kala
|
534 – 624 Saka (612/13 – 702/03
Masehi), 90 tahun
|
Kerajaan
|
istananya pindah ke wilayah Galuh.
|
Nama
|
Sang Wretikandayun atau Sang
Suradharmma, lahir 0513 Caka (0619 Masehi)
|
Istri
|
-
|
Anak
|
-
|
Setelah ayahnya meninggal,
selanjutnya digantikan oleh Sang Wretikandayun
|
Mandala
Kendan
“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’
Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’
‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’
(Carita Parahyangan, Drs.Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)
Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan). Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana. Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :
“ Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”
( carita parahyangan;Danasasmita, 1983:41 )
Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan.
“Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung”
“ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”.
( Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )
Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi
perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya
pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di
Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu
kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari
kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar
Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya merubah
nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang
pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi
Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh
di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu diantara sungai Cimuntur dan
Citanduy. sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan
keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini
Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada dibawah
kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan
Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan
disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada
tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai
pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari
Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap
menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian
hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah
terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas merubah keadaan, Kendan tetap
sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran
runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa
tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa
selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan
dalam melindungi “kesucian” Mandala.
Dalam Kropak - kropak
“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam Kropak - kropak
“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam kropak 406 dan kropak 630,
tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang,
namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata
“Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara
didalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari
Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan
Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri
Sunda ). Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup
sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa
dan Wisnu.
Dalam lakon Lutung Kasarung versi
pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di
daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan
perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini
hubungan antara “Patanjala”, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara
penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang
Hyang Asri. Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan
atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri.
Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan
dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda
nama.
Upacara “seren taun”, dalam versi
pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup
dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi
“syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa
Kuwera.
Begitu pula pada upacara “Nuras”
sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat
Patanjala ( air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang
Asri ( Padi ).
Daftar Pustaka
Adiwilaga, Prof, Ir. Anwas
1975 “Beberapa Catatan Tentang Penulisan Sejarah Jawa barat”, Sejarah Jawa Barat
Sekitar Permasalahannya. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan
Nasional Prov. Jawa Barat.
Atja dan Drs. Saleh Danasasmita, Drs.
1981 b Carita Parahyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung : Proyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Wangsakerta, Pangeran.
1680 Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra. Parwa II, Sarga 4. Naskah Milik Museum
Negeri Jawa barat.
Djatisunda Anis.
1981 Tata Kehidupan “Urang Kanekes”. Bandung : Naskah Laporan untuk BAPPEDA
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa barat.
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda
1986 “Kehidupan Masyarakat Kanekes”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung : Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Daftar Pustaka
Adiwilaga, Prof, Ir. Anwas
1975 “Beberapa Catatan Tentang Penulisan Sejarah Jawa barat”, Sejarah Jawa Barat
Sekitar Permasalahannya. Bandung : Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan
Nasional Prov. Jawa Barat.
Atja dan Drs. Saleh Danasasmita, Drs.
1981 b Carita Parahyangan (Transkripsi, Terjemahan, dan Catatan). Bandung : Proyek
Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Wangsakerta, Pangeran.
1680 Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantra. Parwa II, Sarga 4. Naskah Milik Museum
Negeri Jawa barat.
Djatisunda Anis.
1981 Tata Kehidupan “Urang Kanekes”. Bandung : Naskah Laporan untuk BAPPEDA
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa barat.
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda
1986 “Kehidupan Masyarakat Kanekes”. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung : Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan