Salakanagara
Sebetulnya,
keterangan mengenai Kerajaan Salakanagara ini hampir tidak ada. Tidak ada atau
belum ditemukan satu sumber sezaman tentang Salakanagara, baik berupa prasasti,
candi, atau naskah, kecuali arca dan berita dari Cina. Satu-satunya keterangan
tertulis mengenai kerajaan ini adalah Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara
yang ditulis pada abad ke-17 oleh Panitia Wangsakerta.
Sebelum
membahas kerajaan ini, marilah kita mengupas perihal naskah Wangsakerta ini.
Naskah yang dibuat secara lokakarya atau seminar (Gotrasawala) ini masih
diperdebatkan keabsahannya sebagai sumber sejarah. Para sarjana sejarah,
filologi, dan arkeologi masih berdebat tentang data yang tercantum dalam naskah
yang disusun oleh para ahli (mahakawi) “sejarah” dari berbagai pelosok
Nusantara. Kitab ini terbagi dalam lima parwa (jilid), dan setiap parwa
tersusun atas lima sarga (bab). Selain Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara,
terdapat naskah-naskah lainnya yang disusun panitia Wangsakerta, seperti CaritaParahyangan, Nagarakretabhumi, Pustaka Dwipantara, Pustaka Pararawtan I Bhumi
Jawadwipa.
Secara
garis besar, Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara membagi Nusantara ke dalam
tiga zaman, yakni purwayuga (zaman prasejarah atau nirleka), rajakawasayuga
(zaman kejayaan raja-raja), dan dukhabharayuga (zaman kesengsaraan, yakni zaman
pejajahan Belanda). Nah, dengan demikian tak ada salahnya bila kita mengetahui
hal-ikhwal kerajaan ini, meski belum dapat dijadikan kepastian sejarah.
Menurut
pustaka tersebut, Salakanagara merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang
berlokasi di Jawa Barat bagian barat, daerah Banten. (Jadi, bukan Kutai seperti
yang kita percayai selama ini). Pendirinya adalah Dewawarman, bergelar Prabu
Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapura-sagara. Dewawarman berasal dari
negeri India. Oleh Kerajaan Pallawa di India, ia ditugaskan untuk menjadi duta
negara ke sebelah barat Pulau Jawa. Ia kemudian menjadi raja kecil di pesisir
barat Jawa Barat. Nama Raksagapurasagara kiranya mengingatkan kita pada nama
gunung di Pulau Panaitan, tempat di mana ditemukannya sejumlah arca Siwa dan
Ganesa, bernama Gunung Raksa.
Setelah
tiba di Ujungkulon, Dewawarman menikah dengan Pwahaci Larasati, anak dari
kepala desa setempat yang bernama Aki Tirem atau Sang Aki Luhurmulya. Aki Tirem
nyatanya berasal dari Swarnabhumi (Sumatera), sementara leluhurnya berasal dari
India.
Dewawarman
bersama anak buahnya, baik yang berasal dari India maupun penduduk pribumi,
harus senantiasa menjaga ketertiban dan keamanan wilayahnya. Bandar-bandar yang
terletak di tepi laut atau di muara sungai itu sering dijambangi perompak.
Diceritakan, pada suatu hari ada perahu perompak yang nekad berlabuh sehingga
perahu mereka dikepung oleh pasukan Dewawarman. Berlangsunglah pertempuran yang
alot. Sebanyak 37 orang perampok mati terbunuh, sedangkan yang tertawan atau
luka-luka sebanyak 22 orang. Perompak yang tertawan lalu dihukum gantung.
Sementara itu, Aki Tirem memeroleh perahu lengkap dengan senjata dan
perlengkapannya. Sebagai perwujudan terima kasih, Aki Tirem mengadakan
utsarwakarma atau upacara jamuan lengkap dengan pertunjukan kesenian. Singkat
cerita, para anak buah Dewawarman menikah dengan pribumi setempat dan
beranak-pinak di sana.
Tatkala
Aki Tirem sakit parah, ia menyerahkan daerah kekuasaannya kepada Dewawarman,
menantunya. Setelah Aki Tirem wafat, Dewawarman segera mengumumkan berdirinya
kerajaan Hindu di Ujungkulon bernama Salakanagara. Pwahaci Larasati pun menjadi
permaisuri dengan gelar Dewi Dhwanirahayu.
Disebutkan
dalam pustaka tersebut, Dewawarman (disebut juga Dewawarman I) memerintah tahun
130-168 Masehi. Keterangan ini tak bertentangan dengan kronik (berita) Cina
yang menyebutkan bahwa pada tahun 132 M di wilayah Jawa bagian barat ada raja
bernama Pien dari Kerajaan Ye-tiao. Pien merupakan nama Cina untuk Dewawarman,
sedangkan Ye-tiao lafal Cina untuk Jawadwipa. Keterangan tertulis lain tentang
keberadaan Salakanagara (yang berarti “Kota Perak” atau disebut juga
Rajatapura) adalah catatan ahli geografi Yunani Kuno bertahun 150 M, Ptolemeus.
Ia menulisnya dengan nama Argyre.
Wilayah
Salakanagara meliputi daerah Jawa Barat bagian barat, termasuk semua pulau yang
terletak di sebelah barat Pulau Jawa, dan laut yang membentang antara Jawa dan
Sumatra. Karena letaknya strategis, Salakanagara merupakan tempat perahu dagang
berlalu-lalang dari arah barat ke timur dan sebaliknya. Maka dari itu,
perahu-perahu tersebut mau tak mau harus singgah di sana dan menghadiahkan
persembahan/upeti kepada raja (semacam pajak). Sebagai imbalannya, perahu
tersebut mendapat perlindungan dari raja. Sebaliknya, para perompak dan
pengacau keamanan akan ditindak keras: perahu mereka dirampas, perompaknya
dihukum gantung!
Dari
pernikahannya dengan Pwahaci Larasati, Dewawarman memiliki beberapa anak. Satu
di antaranya anaknya kemudian menggantikannya menjadi raja, yakni yang bergelar
Prabu Digwijayakasa Dewawarman (Dewawarman II) yang memerintah tahun 168-195 M.
Dewawarman pun memiliki istri lain seorang putri Pallawa yang meninggal di
negerinya; keturunannya pun tetap tinggal di India.
Bila
diurut, raja-raja yang memerintah di Salakanagara adalah sebagai berikut:
- Sang Prabu Dharmalokapala Dewawarman Haji Raksagapurasagar (Dewawarman I), memerintah tahun 130-168 M.
- Sang Prabu Digwijayakasa Dewawarman (Dewawarman II), memerintah tahun 168-195 M.
- Sang Prabu Singhasagara Bhimasatyawirya (Dewawarman III), memerintah tahun 195-238 M.
- Sang Prabu Dharmasatyanagara (Dewawarman IV), menantu Dewawarman III, memerintah tahun 238-252 M.
- Sang Prabu Amatya Sarwajala Dharmasatya Jayawarunadewa (Dewawarman V), menantu
Dewawarman IV, memerintah tahun 252-289 M.
- Sang Prabu Ghanayanadewa Linggabhumi (Dewawarman VI), anak Dewawarman V, memerintah 289-308 M. Raja ini menikah dengan putri asal India, yang memberikannya enam orang anak: tiga laki-laki, tiga perempuan. Anak sulungnya, Bhimadigwijaya Satyaganapati kemudian menggantikan Ghanayanadewa. Anak kedua, seorang wanita bernama Salakakancana Warmandewi, menikah dengan seorang perwira di negeri Gauda, India. Anak ketiga, juga wanita, Kartikachandra Warmandewi menikah dengan pembesar Yawana, India. Adiknya, Ghopalajayeng Rana menikah dengan putri keluarga Calankayana, India. Anak kelima, Sri Gandhari Lengkaradewi bersuamikan panglima angkatan laut Pallawa, India. Anak bungsu, laki-laki, bernama Skandamukha Dewawarman Jayasatru.
- Sang Prabu Bhimadigwijaya Satyaganapati (Dewawarman VII), anak Dewawarman VI, memerintah 308-340 M. Bhimadigwijaya (Dewawarman VII) adalah raja yang memindahkan ibukota Salakanagara ke daerah Jayasinghapura yang ketika itu telah berkembang menjadi kota besar. Nama Jasinga di Banten rupanya berasal dari nama kota ini. Bhimadigwijaya Satyaganapati memiliki anak perempuan bernama Spatikarnawa, yang kemudian menggantikannya sebagai ratu setelah ayahnya meninggal. Ratu Spatikarnawa memerintah tahun 340-348. Suaminya, Prabu Dharmawirya Salakabhuwana lalu menggantikannya sebagai raja dan memerintah tahun 348-363. Ternyata Dharmawirya dan Spatikarnawa masih sepupu karena Dharmawirya anak dari Sri Gandhari Lengkaradewi.
Sebetulnya,
sebelum Spatikarnawa memegang tampuk, ada orang lain yang mengisi takhta
Kerajaan, yakni Krodamaruta, yang juga keponakan Bhimadigwijaya, anak
Ghopalajayeng Rana yang tinggal di India. Karena merasa berhak atas tahta
Salakanagara, Krodamaruta berangkat dari India membawa pasukan dalam jumlah
cukup lengkap dengan senjata. Ia tiba di Salakanagara tahun 340, bertepatan
dengan hari kematian Bhimadigwijaya. Tak jelas, apakah kematian Bhimadigwijaya
disebabkan oleh serangan Krodamaruta atau ada penyebab lain.
Ketika
berkuasa, Krodamaruta menerapkan kebijakan tangan besi dan banyak melakukan
penaklukan. Suatu hari ketika pergi berburu Krodamaruta tertimpa musibah. Ia tertimpa
sebongkah batu besar saat berada di tebing yang terjal. Ia pun tewan, dan
kematiannya disambut hangat oleh rakyat yang memang tak senang terhadapnya. Ia
hanya memerintah tiga bulan.
Sementara
itu, Dharmawirya datang ke Salakanagara dari India tahun 346,
enam tahun setelah kematian Krodamaruta. Ia melarikan diri dari tanah
kelahirannya setelah negerinya ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Dinasti
Maurya. Ia, seperti halnya orang-orang Calankayana lainnya, banyak yang
menyelamatkan diri ke manca negara. Dharmawirya pun pergi ke Salakanagara
karena ia pun masih termasuk keluarga Salakanagara dari pihak ibu. Selain
Spatikarnawa, Dharmawirya memperistri Dewi Ratri Candralocana. Dari perkawinan
ini, Dharmawirya memiliki putra yang tinggal di Swarnabhumi yang kelak
menurunkan raja-raja di Sumatra.
Dari
Spatikarnawa, Dewawarman VIII memiliki beberapa anak. Di antara anaknya itu,
seorang putri bernama Parameswari Iswari Tunggalprethiwi (Dewi Minawati)
menjadi istri Maharesi Jayasinghawarman-guru Dharmapurusa (kemudian bergelar
Rajadhirajaguru, raja pertama Tarumanagara). Seorang putra Dharmawirya bernama
Aswawarman. Aswawarman kemudian menikah dengan putri raja Bakulapura, Kundungga
(Kudungga). Nama Bakulapura merupakan nama asli dari Kutai. Pemberian nama
Kutai untuk kerajaan Hindu di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, sebenarnya
didasarkan pada nama tempat dimana ditemukan sejumlah yupa mengenai kerajaan
tersebut. Bisa jadi, nama Bakulapura-lah nama sesungguhnya kerajaan tersebut. Bila
naskah Pustaka Rajya-rajya benar, maka kiranya kerajaan tertua di Indonesia
adalah Salakanagara, bukan Kutai (Bakulapura)
Transisi Salakanagara ke kerajaan Tarumanagara
Transisi Salakanagara ke kerajaan Tarumanagara
Rajadirajaguru
Jayasingawarman Gurudharmapurusa, (358-382 M). Pada
awalnya ia merupakan pewaris tahta Salakanagara, menggantikan mertuanya, raja
DewawarmanVIII. Tetapi setelah ia berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan dari
Rajatapura ke Tarumanagara, sehingga kemudian nama salakanagara berubah menjadi
Tarumanagara. Dan Salakanagarapun secara
otomatis menjadi negara bawahan Tarumanagara.
Jayasaingawarman merupakan seorang Maharesi dari Calankayana di India,
yang mengungsi ke daerah Pasundan, karena daerahnya diserang dan
ditaklukan Maharaja Samudragupta dari
kerajaan Magada, yang mengungsi ke wilayah tanah Sunda. Tidak seperti penguasa-penguasa Salakanagara,
keberadaan Jayasingawarman jelas tertulis dalam prasasti Tugu, yang ditemukan
di desa Cilincing Jakarta. Pada parsasti
ini ia disebut gelarnya saja, Rajadirajaguru, bersama dua raja
sesudahnya, Rajaresi dan Purnawarman.
Tarumanagara
Tarumanagara
atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah
barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu
kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada
saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Kata
Tarumanagara berasal dari kata Taruma dan Nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara
sedangkan Taruma berasal dari kata tarum yang merupakan nama sungai yang
membelah Jawa Barat yaitu Citarum
yang ketika itu banyak ditumbuhi Pohon
Tarum yang merupakan nama tumbuhan penghasil warna nila. Dari asal usul
kata ini bisa disimpulkan bahwa pada zaman dahulu banyak tumbuhan tarum di
sepanjang Citarum. . Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya
dan Percandian Cibuaya
yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma.
Bila
menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan
atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan
kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam
catatan sejarah adalah Purnawarman.
Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali
Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu
mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti
keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu
yang ditemukan (Prasasti Kebon Kopi,
dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan
Rig, Ciampea Bogor; Prasasti Tugu,
ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten
Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya
menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian
Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22
masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk
menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa
pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau; Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul,
ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan
Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman; Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor; Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor;
Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor; Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor).
Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai
tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati
(wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan
Salakanagara.
Bila
diurut, raja-raja yang memerintah di Tarumanagara adalah sebagai berikut:
- Pendiri kerajaan Tarumanagara, dengan gelar Rajadirajaguru Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang memerintah selama 24 tahun (358-382 M) atau dikenal juga sebagai Sri Baginda Maha Rajadiraja Guru Jaya Singawarman Jagat Pati. Berdasar keterangan prasasti Tugu, setelah wafat pad tahun 382 M, Abu jenazahnya dilarungkan (dihanyutkan) di sungai Gomati (sekitar bekasi), maka itu kemudian dikenal sebagai Sang Lumahing Gomati. Ia lalu digantikan oleh anaknya, Rajarsi (rajaresi) Dharmayawarmanguru.
- Dharmayawarman atau lengkapnya Rajarsi (Rajaresi) Dharmayawarmanguru, dengan gelar lain Sri Baginda Maha Rajaresi Prabu Darmansyah Warman Jagat Pati yang berkuasa di Tarumanagara dari tahun 382-395 M, menggantikan ayahnya, Jayasingawarman. Dinamakan Rajaresi dan guru karena ia juga pemimpin agama. Setelah meninggal ia dikenal dengan nama Sang Lumahing Chandrabaga karena dipusarakan di sungai Chandrabaga. Ia mempunyai 2 orang anak laki-laki dan seorang perempuan,. Putra pertamanya bernama Purnawarman, yang kemudian menggantikannya
- Di Naskah Wangsakerta, Purnawarman adalah raja ketiga Kerajaan Tarumanagara yang memerintah antara 395 – 434. Ia membangun ibu kota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura". Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 untuk menyebut ibu kota kerajaan yang didirikannya. Purnawarman merupakan Raja terbesar Tarumanagara, yang memerintah selama 39 tahun (antara tahun 395 hungga 434 M). Ia naik tahta Tarumanagara menggantikan ayahnya, Dharmayawarman, dengan beberapa gelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaarakrama Suryamahapurusa Jagatati, Sang Pramdara Saktipurusa, Sri Baginda Maha Raja Purnawarman/Raja Resi Dewa Raja, Bima Prakarma Sang Iswara Digwijaya Surya Maha Purusa Jagat Pati, atau Sang Hyang Bhatara Surya. Purnawarman (Purnavarmman) adalah raja yang tertera pada beberapa prasasti pada abad V. Ia menjadi raja di Kerajaan Tarumanagara. Ia mengidentifikasikan dirinya dengan Wisnu. Di naskah Wangsakerta juga disebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa silam. Zaman Purnawarman merupakan zaman keemasan tarumanagara. Banyak prasasti memuat kebesaran namanya. Setidaknya ada 7 prasasti yag berkaitan dengannya. Dalam memerintah ia dibantu adiknya, Cakrawarman, yang menjadi panglima perang (didarat). Sedangkan pamanya, Nagawarman menjadi panglima angkatan laut. Dari prameswarinya, ia mempunyai beberapa anak laki-laki dan perempuan. Diantaranya Wisnuwarman, yang kemudian menggantikannya. Setelah meninggal, ia digelari Sang Lumahing Tarumanadi, karena abu jenazahnya di larungkan di Sungai Citarum, dan tahta selalunjutnya jatuh kepada anak sulungnya, Wisnuwarman.
- Wisnuwarman (434-455 M) menggantikan ayahnya, Purnawarman dan berkuasa di tarumanagara dari tahun 434 sampai dengan 455 M, dengan gelar Sri Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati, Sri Baginda Maha Raja Surya Warman Jagat Pati, Aria Kamajaya. Wisnuwarman dinobatkan pada tanggal 14 paro terang bulan posdya tahun 356 saka (434 M). Tiga tahun setelah penobatannya, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya, Cakrawarman, mahapatih di era ayahnya, (adik Purnawarman). Cakrawarman merasa bahwa dirinya yang lebih pantas dari Wisnuwarman sehingga memberontak selama 28 hari dari tanggal 14 parogelap bulan asuji sampai dengan 11 parogelap bulan kartika 350 saka atau bertepatan dengan 21 okteober sampai 18 november 437 M, tetapi gagal, dan dapat ditumpas. Wisnuwarman berkuasa selama 21 tahun (dari tahun 434-455 M). Prameswarinya bernama Suklawarmandewi, adik raja Bakulapura. Suklawarmandewi tidak memberinya keturunan,karena meninggal akibat sakit. Yang menjadi prameswari selanjutnya adalah Suklawatidewi, putri Wiryabanyu yang terkenal kecantikaannya. Dari Suklawatidewi ini, Wisnuwarman memiliki beberapa putra. Putra sulungnya, yang bernaa Indrawarman kemudian menggantikannya.
- Indrawarman (mp. 455-515 M) mennjadi penguasa Tarumanagara ke-6, menggantikan ayahnya, Wisnuwarman, yang bergelar Sri Maharaja Indrawarman Sang paramartha Saktimahaprabhawa lingga Triwikrama bhuwanatala, Raga Sakti dan berkuasa selama 60 tahun (dari tahun 455- 515 M). Setelah meninggal, ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Canrawarman.
- Pangeran Rama Jaksa Patikusuma atau dikenal dengan nama Candrawarman (mp. 515-535 M) penguasa ke-6 Tarumanagara, menggantikan ayahnya, Indrawarman, dengan gelar Sri Maharaja Chandrawarman Sang Hariwangsa Purusasakti Suralagawageng Paramartha, yang bertahta dari tahun 515-535 M. Pada masanya menurut naskah Wangsakerta (pustaka Jayadhipa), banyak memberikan keleluasaan penguasa daerah dalam mengelola daerahnya (otonomi). Pada masa Candrawarman ini banyak penguasa yang menerima kekuasaanya didaerahnya sendiri karena kesetiaanya kepada Tarumanagara. Candrawaran kemudian digantikan oleh anaknya, Suryawarman.
- Suryawarman atau Pangeran Sanggabasah (535-561 M) penguasa Tarmunagara yang ke-7, menggantikan ayahnya, Candrawarman. Ia banyak mengikuti kebijakan ayahnya dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah kekuasaanya. Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja-raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah timur. Misalnya pada tahun 526 M, Manikmaya, menantunya, mendirikan kerajaan baru di daerah kendan (daerah Nagreg, suatu daerah antara Bandung dan Garut). Sedang putra Manikmaya yang bernama Suraliman, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara, dan kemudian menjadi panglima angkatan perang kerajaan. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit (bao) Manikmaya, Wretikandayun, mendirikan kerajaan galuh., pada tahun 612 M.
- Kertawarman naik tahta Tarumanagara menggantikan maharaja Suryawarman. Ia berkuasa dari tahun 561 hingga 628 M. Ia kemudian digantikan oleh sudhawarman.
- Sudhawarman menjadi penguasa Tarumanagara ke-9. Sudawarman secara emosional tidak menguasai persoalan di Tarumanagara, sejak kecil ia tinggal di Kanci, kawasan Palawa. Sehingga masalah Tarumanagara menjadi asing baginya. Memang ia dapat menyelesaikan tugas pemerintahannya, hal ini disebabkan adanya kesetiaan dari pasukan Bhayangkara yang berasal dari Indraprahasta, telah teruji kesetiannya terhadap raja-raja Tarumanagara, mereka hanya berpikir tentang : bagaimana cara menyelematkan raja. Sehingga setiap pemberontakan dapat diselesaikan dengan baik. Didalam buku Rintisan Penelusuran Masa Silam Jawa Barat disebutkan Tarumanagara ketika pada masa Sudawarman sudah mulai nampak antiklimaks dari masa keemasan Tarumanagara. Sudawarman, raja Tarumanagara ke 9, dengan gelar Sri Maharaja Sudawarman Mahapurusa Sang Paramertaresi Hariwangsa. Ia berkuasa sejak tahun 550 sampai dengan 561 saka (628 – 639 M) dan dikenal sebagai raja yang berbudi luhur. Kemunduran atau gejala meredupnya kejayaan Tarumanagara yang mulai nampak pada masa Sudarwana, konon dimungkinkan terjadi, Pertama, pemberian otonomi kepada raja-raja bawahan yang diberikan oleh raja-raja sebelumnya tidak disertai hubungan dan pengawasan yang baik. Akibanya para raja bawahan merasa tidak terlindungi dan tidak diawasi. Kedua, pada jaman Sudawarman telah muncul kerajaan pesaing Tarumanagara yang sedang naik daun. Seperti ditenggara terdapat Kerajaan Galuh, didirikan tahun 612 M, sebelumnya termasuk Wilayah Tarumanagara. Galuh didirikan oleh Wretikandayun, cucu dari Kretawarman, raja Tarumanagara kedelapan. Selain Galuh terdapat kerajaan Kalingga di Jawa Tengah yang sudah mulai ada didalam masa keemasannya. Sedangkan di Sumatera terdapat kerajaan Melayu (termasuk Sriwijaya).
- Hariwangsawarman (639-640 M) atau Dewamurti naik tahta Tarumanagara ke10, menggantikan Sudhawarman. Kemerosotan pamor Tarumanagara tidak akan berakibat parah jika pengganti Sudarwan, yakni Dewamurti dapat bertindak arif. Ia dianggap sebagai raja yang kasar dan tidak mau berbelas kasihan, cenderung menebar aib didalam keraton Tarumanagara. Hingga pada akhirnya ia dibunuh oleh Brajagiri, anak angkat Kretawarman, raja Tarumanagara ke VIII, yang ia permalukan. Barjagiri sendiri tewas dibunuh oleh Sang Nagajaya, menantu Dewamurti.
- Nagajaya mewarisi tahta dari mertuanya, Dewamurti Hariwangsawarman, dengan gelar Maharaja Nagajayawarman Darma Satya Cupu Jaga Satru. Ia berasal dari Cupunagara, kerajaan bawahan Tarumanagara. Nagajayawarman memerintah Tarumanagara sejak tahun 562-588 saka (640-666 M). Setelah ia wafat kemudian digantikan oleh Linggawarman.
- Pangeran Lingga Kusuma Yudha atau Linggawarman dinobatkan sebagai raja Traumanagara ke-12, menggantikan Nagajayawarman, dengan gelar Sri Baginda Maha Rajaresi Guru Linggawarman Padma Hariwangsa Panunggalan Tirtabhumi. Ia merupakan raja terakhir Tarumanagara, yang memerintah hanya 3 tahun dari tahun 666 hingga 669 M. Ia menikah dengan Dewi Ganggasari dari Indraprahasta, suatu kerajaan otonom di daerah Cirebon sekarang. Dari Ganggasari, ia memiliki 2 anak, yang keduanya perempuan. Yang pertama, Dewi Manasih, menikah dengan Tarusbawa dari Sundasambawa. Sedang yang kedua, Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah ia meninggal dunia, kekuasaan jatuh ke tangan menantunya, tarusbawa. Dan tarausbawa ini kemudian memidahkan ibukotanya, di sekitar sungai Pakancilan.
Transisi
Tarumanagara ke Kerajan Sunda
Tarumanagara
hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja terakhir Linggawarman
tidak mempunyai anak laki-laki. Ia
mempunyai 2 anak laki-laki. Ia mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama
Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua, Subakancana menjadi istri
Depuntahyang Srijayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya.
Tarusbawa (mp. 669-723 M), yang berasal
dari kerajaan Sunda Sumbawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa tarumanagara ke-13. Karena pamor
Tarumanagara, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang
berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dengan demikian sejak tahun 670
M, nama kerajaan Tarumanagara berubah menjadi kerajaan Sunda.
Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa
Prasasti
Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja
Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa
Tarumanagara adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pustaka
Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa
dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak
penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya
sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini,
maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya. Rakeyan
Juru Pengambat yang tersurat dalam prasasti Pasir Muara mungkin sekali seorang
pejabat tinggi Tarumanagara yang sebelumnya menjadi wakil raja sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah tersebut. Yang belum jelas adalah mengapa prasasti
mengenai pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu terdapat di sana?
Apakah daerah itu merupakan pusat Kerajaan Sunda atau hanya sebuah tempat
penting yang termasuk kawasan Kerajaan Sunda?
Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa. Karena melihat pamor Tarumanagara yang terus merosot, Tarusbawa sangat menginginkan untuk mengangkat Tarumanagara kembali kemasa kejayaannya. Ia pun memimpinkan kejayaan Tarumanagara seperti jaman Purnawarman yang bersemayam di Sundapura. Dengan keinginannya tersebut ia merubah nama Kerajaan Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda (Sundapura atau Sundasembawa) dan memindahkan ibokota kerajaan yang semula di Gomati Bekasi ke Pakuawan Bogor yang terkenal dengan kemegahan lima keratonnya yang berdiri berjajar “Sri Bima-Punta-Narayan-Madura- Suradipati”.
Kehadiran Prasasti Pasir Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa Ibukota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII).
Karena
Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri,
yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara, hal ini berdampak bagi hubungan
Tarumanaga dengan raja-raja bawahannya. Karena dengan digantinya nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda berakibat raja-raja daerah merasa tidak
lagi memiliki ikatan kesejarahan, apalagi Tarusbawa bukan anak Linggawarman,
melainkan seorang menantu dan bekas raja Sundapura. Atas
pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan
memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara.
Galuh Pakuan
Keinginan
melepaskan diri dari Sundapura dicetuskan oleh Wretikandayun, penguasa Galuh.
Padahal leluhur Wretikandyun sangat setia terhadap Tarumanagara, namun karena
ada perubahan nama (mungkin juga adanya pemindahan ibukota Tarumanagara ke
wilayah Sundapura) berakibat ia merasa perlu melepaskan diri. Keinginan
melepaskan diri ini bukan seuatu yang muskil untuk untuk dilaksanakan,
mengingat Galuh telah merasa cukup kuat untuk melawan Tarumanagara, karena
Galuh telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Kalingga, menikahkan
Mandiminyak, putranya dengan Cucu Ratu Sima. Keinginan tersebut ia sampaikan
melalui surat. Isi
surat dimaksud intinya memenjelaskan, bahwa : Galuh bersama kerajaan lain yang
berada di sebelah Timur Citarum tidak lagi tunduk kepada Tarumanagara dan tidak
lagi mengakui raja Tarumanagara sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan
tidak perlu terputus, bahkan diharapkan dapat lebih akrab. Wretikandayun
memberikan ultimatum pula, bahwa Tarumanagara janganlah menyerang Galuh Pakuan,
sebab angkatan perang Galuh tiga kali lipat dari angakatan perang Tarumanagara,
dan memilki senjata yang lengkap. Selain itu Galuh juga memiliki bersahabat
baik dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang siap
memberikan bantuan kepada Galuh kapan saja.
Permintaan
untuk memisahkan diri tersebut tidak akan dikabulkan jika terjadi jaman
Purnawarman. Namun berdasarkan perhitungan Tarusbawa, pasukan Tarumanagara yang
ada saat ini dibandingkan pasukan Galuh masih seimbang, sehingga sulit untuk
memenangkan peperangan. Tarusbawa juga termasuk raja yang visioner dan cinta
damai. Ia memilih mengelola setengah kerajaan dengan baik dibandingkan
mengelola seluruh kerajaan dalam keadaan lemah. Pada
cerita berikut dikisahkan, akhirnya Tarusbawa menerima tuntutan
Wretikandayun. Dan memecah kerajaan menjadi dua, sesuai dengan permintaan
Wretikandayun. Dengan menggunakan Citarum sebagai batas negaranya.
Dalam
tahun 670. berakhirlah Tarumanagara sebagai kerajaan yang menguasai seluruh
Jawa Barat. Namun muncul dua kerajaan. Disebalah barat Citarum menjadi kerajaan
Sunda, sedangkan disebelah timur Citarum berdiri kerajaan Galuh (Parahyangan). Dari
Tulisan di atas kita tarik Benang merah bahwa Chandrawarman di gantikan oleh
Suryawarman dan memindahkan Ibukota Tarumanagara ke Sundapura.selanjutnya
Kretawarman menggantikan Suryawarman menjadi Raja Tarumanagara ke
VIII. Sepeninggal Kretawarman Tarumanagara di Perintah oleh Sudawarman tahun
550-561 Saka (628-639 M) dan tarumanagara Mulai mengalami kemundurannya, Selanjutnya
Kerajaan Tarumanagara mengalami Perebutan Kekuasaan Berdarah dengan di
bunuhnya Raja Dewamurti yang
menggantikan Sudawarman oleh Brajagiri kemudian Brajagiri di bunuh Oleh
Nagajaya Menantu dari Dewamurti. Nagajaya Menjadi raja Tarumanagara tahun
562-588 Saka (640-666 M) selanjutnya Linggawarman Menggantikan Nagajaya setelah
3 tahun memerintah Tarumanagara Linggawarman digantikan Tarusbawa yang
memerintah tahun 591-645 Saka (669-723 M) Tarusbawa menjadi Raja Penutup pada
sejarah Kerajaan Tarumanagara karena Tarusbawa mengganti nama Tarumanagara
menjadi kerajaan SUNDA yang mengakibatkan Wretikandayun Raja Galuh cucu dari
Kretawarman raja Tarumanagara ke VIII memisahkan diri dari Kerajaan SUNDA, maka
pecahlah bekas Kerajaan Tarumanagara menjadi 2. Kerajaan SUNDA yang di perintah
Tarusbawa dan Kerajaan GALUH yang di perintah Wretikandayun. Pada tahun 1482,
kedua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja Ratuhaji Kajayaan Pajajaran (Prabu Siliwangi),
menjadi Kerajaan Sunda Pajajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar